Membahas Cedera Lutut dari Sudut Pandang Fisioterapis

- 30 Januari 2024, 01:14 WIB
Ilustrasi. Pemain Persib sedang menjalani sesi latihan rutin di Stadion Sidolig, Bandung
Ilustrasi. Pemain Persib sedang menjalani sesi latihan rutin di Stadion Sidolig, Bandung /Adil Nursalam/Simamaung/
SIMAMAUNG - Manis getir mengiringi karir para pesepakbola, tawa bahagia terpancar ketika meraih tahta juara, namun tidak sedikit pula yang harus meringis karena cedera. Cedera tidak pernah lepas menghantui sepak terjang para seniman lapangan hijau. Namun bukan berarti karena cedera, karir dipastikan menemui akhir meski harus melalui penanganan ekstra seperti naik meja bedah.
 
Kini keberadaan tim medis di sebuah klub sudah semakin lengkap. Tidak melulu hanya menggunakan dokter tim, tapi ahli fisioterapi hingga sport science sudah dipakai jasanya. Tentu tujuannya agar para pemain bisa terhindar dari cedera parah dengan program yang dibuat, dan yang cedera pun ditangani oleh orang yang tepat.
 
Seperti Persib Bandung yang menggunakan jasa fisioterapis sejak musim 2014 ketika merekrut Sigit Pramudya. Lalu di musim 2016, Benidektus Adi Prianto lantas masuk menggantikan Sigit. Lulus dari Universitas Muhamadiyah Surakarta,  Beni –sapaan akrab Benidektus- pun hingga kini masih dipercaya untuk menangani kebutuhan medis para punggawa Maung Bandung dimulai dari edukasi pencegahan hingga pemulihan cederanya.
 
Beni menjelaskan apa saja cedera yang kerap dijumpainya ketika menjadi fisioterapis di sebuah klub sepak bola. Sprained ankle atau engkel terkilir menurutnya salah satu cedera ‘langganan’ dari pemain sepak bola. Selain itu cedera di daerah lutut juga kerap ditemukannya. Beni pun memberikan pandangan terkait anggapan bahwa cedera lutut adalah momok bagi para pemain, karena banyak yang karirnya menurun karena itu.  Menurutnya cedera lutut memang harus ditangani dengan baik.
 
“Kalau cedera lutut sendiri itu cedera yang lumayan harus di-handle dengan cukup baik. Katakanlah misalnya seperti putus atau robek ACL (anterior cruciate ligament), jadi ligamen itu ada di dalam lutut dan berfungsi untuk menahan pergeseran lutut ke arah depan. Makanya kalo ACL-nya putus itu kita biasanya menyarankan untuk dioperasi. Kalau putus total atau putus sudah lebih dari 30 persen saja untuk pemain profesional kita menyarankan untuk dioperasi,” ujar Beni kepada Simamaung.
 
“Karena kalau orang awam kena ACL, dalam sebulan paling main bolanya itu cuma empat kali, kalau pesepakbola profesional kan tiap hari mereka latihan, pekerjaan mereka juga di situ jadi kita ga mau uluran ligamen mereka lebih besar atau lebih parah. Makanya kita sarankan untuk operasi, biar di-repair lah,” lanjut pria yang tumbuh dan besar di Palembang tersebut.
 
Selain cedera ligamen lutut, kerap ditemukan juga cedera meniskus yang kerap jadi momok mengerikan bagi atlet. Di Persib saja ada beberapa pemain yang harus tumbang karena cedera meniskus seperti Yudi Guntara, Muhammad Nasuha hingga Purwaka Yudhi. Beni menjelaskan meniskus itu adalah bantalan sendi yang ada di lutut. Ada yang di bagian dalam (medial) dan bagian luar (lateral).
 
Meniskus juga mempunyai fungsi yang penting dalam tubuh manusia terutama yang berkecimpung di olahraga. Karena berperan untuk bantalan beban atau shock absorber dari lutut. Cedera meniskus juga ada dua jenis ada merobek di bagian white zone dan red zone. Dinamakan white zone karena sedikit supply pembuluh darah dan proses pemulihannya cenderung lama. Sedangkan red zone banyak supply pembuluh darah sehingga untuk proses pemulihan lebih cepat.
 
Cedera meniskus juga kalau dibiarkan bisa merusak cartilage atau tulang rawan sendi. Dampaknya dari tubuh secara otomatis melakukan perlawanan dengan menumbuhkan tulang-tulang kecil (osteofit). Sehingga orang-orang yang mengalami pengapuran sendi, ketika lututnya digerakan akan terdengar ada suara seperti pasir (krepitasi), karena itu adalah bentuk self defense dari tulang.
 
“Jadi cedera meniskus itu tricky, dia sakitnya ga terlalu tapi itu masih bisa dipaksa terus, dan saat itu dipaksa terus itu akan jadi lebih parah dan ketika sudah parah itu bisa kena ke lain-lain. Bisa sampai ke cartilage atau tulang rawan sendi dan kalau sudah kena cartilage nanti lama-lama biasanya punya resiko osteoartritis atau pengapuran sendi,” kata Beni.
 
“Banyak pemain yang habis dioperasi atau tanpa operasi dia bisa melakukan pemulihan dengan baik. Dan ada juga yang proses pemulihannya lama, karena tergantung tempat kenanya.  Makanya kita ga bisa langsung bilang pemain yang kena meniskus harus cedera lama atau kalau meniskus pasti sulit, tergantung tempat kenanya dan gimana robekannya,” imbuhnya.
 
Menanggapi anggapan cedera lutut itu adalah teror paling menakutkan bagi pesepak bola, Beni menilai sebenarnya itu bisa diatasi. Karena kini teknologi sudah semakin maju dan tenaga medis juga semakin berkembang. Dari diri pemainnya juga mesti berani mengambil langkah melakukan operasi agar cedera yang dialami bisa pulih.
 
“Mungkin kalau di zaman dulu, Beni juga ada menemukan banyak kasus hasil obrolan dari senior pemain yang sudah pensiun pasti mereka kadang ngeluh lututnya terasa kaku. Karena mungkin di zaman itu ada masalah di ACL-nya tapi tidak di-handle dengan baik. Atau zaman dulu kan operasi itu hal yang cukup menakutkan,” tuturnya.
 
“Tapi kalau sekarang dengan teknologi kedokteran atau teknologi medisnya mulai dari operasi hingga teknik rehabilitasinya baik itu fisioterapi atau tim dokternya justru punya kans untuk meningkatkan performanya lagi. Minimal bisa sama seperti performa awal walaupun setiap orang punya (motivasi) masing-masing,” kata pria berusia 26 tahun ini.
 
Baginya ada faktor penting lain bagi pemain yang sempat mengalami cedera untuk bisa kembali ke performa terbaiknya, faktor tersebut adalah
motivasi. Dia mengambil contoh bagaimana Zlatan Ibrahimovic kini bisa bangkit dan tetap produktif bersama AC Milan. Padahal di musim 2017 lalu dia sempat mengalami cedera horor ketika masih membela Manchester United. 
 
“Semua kembali ke pemain untuk punya motivasi yang tinggi. Dan itu juga tugas dari tim medisnya untuk memberikan motivasi yang lebih sehingga psikologisnya dan motivasinya tetap tinggi. Itu yang membedakan Ibrahimovic di usia yang segitu dengan pemain lain termasuk pemain di Indonesia,” kata fisioterapis yang bergabung dengan Persib di era pelatih Dejan Antonic tersebut.
 
Maka dari itu Beni menolak anggapan bahwa cedera lutut adalah cedera paling rawan yang bisa saja mengakhiri karir pesepakbola. Menurutnya itu bukan akhir dari segalanya apalagi saat ini teknologi medis terus berkembang. Menurutnya yang menjadi tantangan adalah proses recovery yang panjang dan dibutuhkan kesabaran serta motivasi agar bisa pulih normal.
 
“Kalau melihat teknologi yang sekarang sih harusnya engga rawan. Artinya Beni membangun pesan yang positif untuk pemain karena sekarang kita punya teknologi lebih baik, kita punya tim medis yang selalu belajar lebih baik walau kadang ada kesalahan tapi itu hal wajar karena tim medis juga manusia. Yang jadi ditakutkan (cedera lutut) itu karena proses pemulihannya lebih panjang saja,” kata dia. 
 
“Jadi ada pemain yang tough, punya motivasi untuk tetap bertahan. Misalnya dalam proses pemulihan 6 bulan dia tough, dia bertahan. Tapi mungkin ada pemain yang di awal punya motivasi tinggi tapi lama-lama kelamaan menurun. Kadang-kadang proses pemulihan ada yang engga mulus prosesnya. Misal di bulan ketiga ada yang masalah nih sedikit kompensasi jadi harus mundur dulu untuk maju lagi ke depan dan menjaga motivasi itu yang sulit,” lanjut Beni.
 
“Makanya disebut cedera paling rawan engga, tetapi banyak pemain yang merasa menjaga motivasi selama pemulihan itu lah yang sulit. Karena memang sebetulnya cedera bisa dimana saja tapi proses pemulihan yang berbeda-beda. Kalau sprained ankle tapi cuma robek sebagian atau robek grade 1 atau 2 paling hanya 1,5 bulan bisa selesai. Atau misal cedera meniskus tapi kalau grade rendah bisa cuma 1,5 bulan atau 2 bulan. Tapi kalau cedera lutut dan grade-nya tinggi dan habis dioperasi memang harus mundur dulu ke belakang untuk nyiapin lagi,” ujarnya menjelaskan.
 
Dorongan dari pemain untuk bisa kembali ke performa terbaik menurutnya yang menentukan pasca menjalani tindakan operasi. Memang fisioterapis bukan psikolog olahraga, tapi Beni mendapat mata kuliah psikologi medis dan itu diterapkan kepada pemain untuk membangun motivasi. Diakuinya memang bukan hal mudah menjaga motivasi pemain di level atas, tapi upaya harus terus dilakukan.
 
Beni mencoba membangun kedekatan dengan pemain yang cedera supaya merasa nyaman. Dirinya juga kerap menanyakan kabar pada pasiennya dan progres dari pemulihan yang dilakukan. Lalu menjelaskan program ke depan yang akan ditempuh. Selain itu ada treatment khusus untuk pemain yang sudah ada di fase akhir pemulihan yaitu dengan membuat tantangan agar pemain tersebut terus termotivasi.
 
“Jadi kita juga memberikan challenge, pemain itu sebenarnya suka challenge. Makanya kita kadang kasih challenge dua minggu lagi buat progam ini atau tiga minggu lagi bikin program lainnya.  Supaya mereka berpikir ada yang dikejar, terutama di fase-fase akhir misalnya habis operasi sudah masuk 5 bulan sampai 6 bulan lalu nanti disiapkan tes untuk menentukan ini layak main atau belum. Saat dichallenge itu mereka jaga motivasinya. Walaupun kadang kalau turun (motivasi) kita harus ngobrol, harus deketin lagi dan cari tahu ada masalah apa. Karena setiap pemain punya faktor internal atau eksternal masing-masing yang mempengaruhi motivasi,” tukasnya.

Editor: Mayasari Mulyanti


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x